Jakarta - ANEH kalau tidak mau disebut memalukan. Mungkin hanya di Indonesia, ngobrol dengan gelandangan dan pemulung atau masuk kolong jembatan,dinilai bermotif politik: Pencitraan. Dimana nalar analisa politiknya?.
Itu yang terjadi hari-hari belakangan ini menyangkut blusukan Menteri Sosial, Tri Rismaharini. Apa yang mau dikritisi dari hasil kerja mantan Walikota Surabaya yang baru sekitar satu minggu setelah dilantik Presiden Jokowi itu?.
Aksi blusukan Risma - panggilan Tri Rismaharini - membuat Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan "sembuh" dari paparan Covid-19. Anies mengeluarkan instruksi agar Kepala Dinas Sosial Pemda DKI untuk mencari tahu identitas pengemis yang ditemui Risma di kawasan jalan protokol Sudirman dan Thamrin.
Kata instruksi patut kiranya digaris bawahi mengingat yang bersangkutan mengaku terpapar Corona,usai memenuhi panggilan penyidik Polda Metro Jaya soal kerumunan di kediaman Rizieq Shihab. Orang nomor satu di Ibukota Jakarta itu malah benar-benar hilang dari peredaran sejak Rizieq Shihab di penjara.
Tidak kalah naifnya reaksi Wakil Gubernur, Ahmad Riza Patria yang mengatakan:"Saya di Jakarta sejak umur 4 tahun, baru dengar ada tunawisma di Thamrin."
Mungkin lebih tepat 4 tahun terakhir karena sebelumnya di kawasan Bendungan Hilir, Karet sampai Tosari,dengan mudah kita temui para pengemis dan gelandangan. Mereka umumnya berkumpul di sekitar jembatan penyeberangan. Jangan tanya 10 tahun lalu. Hampir di setiap lampu merah para pengemudi kendaraan diganggu oleh pengemis dan tukang ngamen yang umumnya anak-anak.
REAKSI berlebihan dua penguasa Ibukota Jakarta itu sebelumnya didahului oleh pendukung dan tim buzzer Anies di media sosial. Mereka menyerang Risma mulai dari tuduhan pencitraan,pengusiran untuk pulang kembali ke daerah sampai kata lebay.
Sebuah media cetak bahkan menurunkan head line dengan judul "Blusukan Risma Strategi Politik Jegal Anies Di Pilpres 2024". Media dengan tagline "Koran Aspirasi Rakyat" itu memasang foto besar Risma dengan latar belakang foto kecil Anies Baswedan.
PENGUASA Ibukota dan para pendukungnya lupa bahwa wilayah kerja seorang menteri adalah seluruh wilayah Indonesia. Perhatian,memberdayakan dan meningkatkan taraf hidup kelompok masyarakat marginal - tanpa akses ekonomi, perlindungan hukum dan sosial - adalah salah satu tugas utama Kementerian Sosial.
Bahwa Risma kemudian mengunjungi kolong-kolong jembatan, rumah kardus dan papan di bantaran sungai serta berdialog langsung dengan gelandangan dan pemulung,itulah habitat pengabdiannya. Itu dibuktikan sejak awal menjabat Walikota Surabaya sampai dipercaya memimpin dua periode. Prestasi habitat kerjanya bisa ditemui di banyak tempat di Kota Surabaya.
Risma yang tidak segan menyebut dirinya "ibunya pemulung" adalah pemimpin yang berbeda karena memiliki visi yang kuat, misi jelas dan konsisten dalam pengadiannya. Konsisten karena tegas dan dibuktikan dengan blusukan ke lapangan. Panggilan hatinya memang untuk melayani publik. Ini yang membedakan Risma dengan kebanyakan pemimpin daerah lainnya.
Tudingan pencitraan, apalagi dikaitkan dengan kontestasi politik 2024, jelas tanpa nalar politik. Yang paling dekat adalah justru Pilkada DKI Tahun tahun 2022. Mungkin, selain Risma tentunya, mau menerima degradasi kekuasaan dari seorang menteri menjadi sekedar gubernur. Yang penting berkuasa. Risma pribadi sangat berambisi ingin mengisi waktu pensiunnya sebagai pedagang batik.
Logika politik yang paling nalar dalam hal ini, sebagai pesaing keras Anies Baswedan justru pada sosok Wakil Gubernur Ahmad Riza Patria yang merupakan kader andalan Partai Gerindra.
Sikap nyinyir soal blusukan Risma jelas lebih sebagai reaksi para penguasa Ibukota Jakarta yang selama ini bekerja dari atas menara gading. Reaksi memalukan yang lebih pantas disebut dengan istilah lebay.
(rd)

0 Komentar